.....
Tengah malam, Mbah Mursinah membuka pintu kamar Anggia, Santi, dan
Rara. Mbah Mursinah membangunkan Anggia dan mengajaknya ke sesuatu tempat.
Tempat tersebut tidak asing bagi Anggia. Tempatnya indah sekali, terdapat aroma
bunga mawar, melati dan kamboja yang membaur menjadi satu. Bunga tersebut
bernama bunga Akarsari, bunga hutan yang tumbuh di hutan liar dekat pantai.
Mbah Mursinah menyuruh Anggia membaca sebuah tulisan aksara jawa yang ada di
batu nisan tersebut. Anggia pun membacanya.
“Tang niku ayu rupine”[1]
Tiba-tiba bunyi sebuah benda “TANG!” sangat keras dari kejauhan.
Akar-akar tersebut menarik Anggia dan melilitnya ke dalam hutan hingga ia
benar-benar hilang. Mbah Mursinah pun ketakutan dan berlari menjauh. Ternyata
dia salah mengajak orang, akhirnya ia pun ikut tertarik oleh akar-akar tersebut.
Keesokan harinya sontak Rara dan Santi kebingungan tidak mendapati
Anggia di kamarnya, mereka berdua langsung menghampiri rumah Mbah Ngatiyem,
untuk menemui Harul dan Panji.
“Harul.. Harul..” teriak Rara dari luar kamar.
“Iya, ada apa, Ra?” jawab Harul.
“Anggia, gak ada di kamar, Rul” balasnya.
“Iya!? Kemana dia? Kok, bisa gak ada?” tanya Harul.
Mbah Ngatiyem yang dari dapur mendengar bisik-bisik suara diskusi
mereka dan akhirnya ikut bergabung dengan obrolan mereka.
“Ada apa ini, nduk?” tanya Mbah Ngatiyem.
“Niku Mbah, Anggia mboten wonten teng kamar mbah” jawab
Anggia panik.[2]
“Saestu nduk?” tanya Mbah Ngatiyem penasaran.[3]
“Nggeh, Mbah” jawab
Anggia.[4]
Mbah Ngatiyem akhirnya pun pergi menuju kamar Mbah Mursinah dan
mendapatinya juga tidak ada di kamar tersebut.
“Waduh, Mursinah berulah lagi, buku kuno di laci juga tidak ada” tukas
Mbah Ngatiyem.
“Nduk, di sini apa ada di antara kalian yang berasal dari keturunan
ningrat?” tanya Mbah Ngatiyem.
“Nggeh, kulo, Mbah. Jeneng kulo Raden Ayu Santiwardana Kusuma
Putri” jawab Santi.[5]
“Kamu lah orang yang sebenarnya
dicari oleh Mbah Mursinah, ia ingin menjadikanmu tumbal kepada ruh gaib, supaya
Mursinah bisa mendapat kesaktian para dewi leluhur kami” jelas Mbah Ngatiyem.
“Setelah ini kamu ikut saya ya. Cuma kamu yang bisa bantu temanmu
itu”
“Baiklah, Mbah” jawab Santi.
Akhirnya, kami segera menuju pantai yang biasa menjadi tempat kami
bermain. Ternyata di sana ada jalan kecil yang menuju suatu tempat yang kami
tidak ketahui. Kami melewati sebuah gapura tua yang terbuat dari kayu.
Sebenarnya, tempat ini khusus untuk perempuan saja, tetapi aku dan Panji tetap
memaksa masuk untuk memastikan kalau mereka baik-baik saja. Akhirnya, kami tiba
di sebuah bunga-bunga Akarsari, Mbah Ngatiyem menyuruh Santi untuk membaca
sebuah tulisan pada Nisan tersebut. Santi pun membacakannya.
“Tang niku ayu rupine”[6]
Bunga-bunga tersebut justru menjauh dan membuka jalan selanjutnya
untuk Santi. Ternyata terdapat tiga bunga yang tersisa sebuah penanda untuk
menuju jalan selanjutnya.
Setelah itu, kami disuguhkan dengan ribuan kunang-kunang yang bercahaya
dengan indah. Kali ini Santi kembali membaca lagi aksara pada nisan tersebut.
“Ting niku sae pakertine”[7]
Tiba-tiba kunang-kunang tersebut membentuk sebuah terowongan,
dengan dua kunang-kunang besar dan bercahaya paling terang. Mereka
menghantarkan kami menuju ke jalan selanjutnya.
Tibalah kami di sebuah ladang luas yang tak bertepi, seluruh
pandang hanya ada ladang ilalang saja. Akhirnya ia membaca aksara pada batu nisan
yang ada di sana juga.
“Tung niku alus tuture”[8]
Sontak saja seekor kupu-kupu bersayap emas datang dan melewati kami
begitu saja. Akhirnya, kami pun mengikuti arah kupu-kupu tersebut. Tiba-tiba saja,
kami berada di sebuah padepokan dengan banyaknya alat musik gamelan yang asing
bagiku. Jumlahnya beragam ada yang terdiri dari tiga gamelan, ada juga yang dua
dan satu gamelan.
Sampailah kami disebuah panggung dengan ukiran-ukiran kayu yang
indah. Mbah Ngatiyem langsung saja mengarahkan Santi untuk membaca aksara jawa
secara bersamaan. Ia tak sengaja melihat sebuah pahatan angka yang berbentuk
angka 1, 2 dan 3 pada ukiran tersebut. Ia tak mengerti maksud dari ukiran kata
itu, sedangkan pintu di panggung itu benar-benar tidak bisa dibuka.
Mbah Ngatiyem pun akhirnya menjelaskan bahwa angka tersebut adalah
nomor urut makam penari desa kami sebagai perwujudan leluhur kami. Tadi kita
melewati makam tersebut, dan kita melihat jumlah penanda yang ada di tiap makam
tersebut. Terdapat tiga bunga Akarsari sebagai perwujudan penari yang cantik
parasnya, kemudian kita melihat ada dua kunang-kunang yang bersinar terang
menandakan penari yang baik prilakunya. Terakhir, ketika kita berada di padang
yang luas ada satu kupu-kupu emas yang indah menandakan penari yang sopan tuturnya
dalam berkata.
Dunia lain sedang mencari keturunan ningrat yang memiliki kriteria
tersebut untuk menggantikan juru kunci penari di desa ini. Aku dan Mursinah
sudah berusaha tetapi leluhur kami menolaknya dan belum mendapat penggantinya.
Maka dari itu, Mursinah menjanjikan tumbal wanita ningrat sebagai hadiahnya,
supaya dia bisa menjadi pewaris leluhur tersebut. Tapi, tenang Santi kau bisa
menyelamatkan Anggia, dan kau akan kembali selamat juga. Namun, kita tidak bisa
mengembalikan Mursinah karena dia telah melanggar perjanjiannya dengan dunia
lain tersebut.
“Lalu apa yang harus Santi lakukan, Mbah? Supaya bisa menyelamatkan
Anggia?” tanya Santi.
“Apakah Santi memerhatikan jumlah penanda ketika mulai masuk tadi,
ada aksara jawa yang kamu baca dan setiap kejadian selalu ada pertanda seperti
tiga bunga Akarsari, selanjutnya dua kunang-kunang besar, dan terakhir satu
kupu-kupu emas. Mereka adalah penjelmaan dari penari yang menuntunmu hingga ke
tempat ini. sekarang kamu baca lagi aksara jawa itu sesuai dengan urutan angka
pada ukiran tersebut” jelas Mbah Ngatiyem.
Pada angka tersebut tertulis angka 1, 2, 3 dan di bawahnya terdapat
sebuah tulisan yang hanya kaum ningrat yang bisa membacanya.
Santi memejamkan matanya dan mulai melantunkan aksara tesebut dari
urutan 1, 2 dan 3.
“Tung niku alus tuture”
TUNG! Tiba-tiba sebuah dentuman keras datang dari berbagai arah
yang sempat mengagetkan Santi.
“Kau harus bertahan, Nduk. Jangan takut dengan suara apapun!” jawab
Mbah Ngatiyem.
“Ting niku sae pakertine”
TING! Dentingan yang sangat keras, yang membuat Sinta sampai hampir
terjatuh dan akhirnya ia bangkit lagi.
“Tang niku ayu rupine”
TANG! Sebuah suara pukulan keras diiringi hembusan angin yang
sangat kencang, namun lagi-lagi Santi masih bertahan. Selanjutnya, ia berusaha
mengatakan kalimat yang hanya kaum ningrat saja yang dapat membacanya.
PRAMILO DADOSO TIYANG ENGKANG SAE, TRESNO ING DUNYO LAN AKHIRAT![9]
Tiba-tiba angka 1, 2 dan 3 tersebut bercahaya terang sekali,
sehingga membuka pintu panggung tersebut. Cahaya tersebut perlahan-lahan
membesar dan menarik Santi ke dalamnya. Dia dan tubuhnya ditarik ke dimensi
lain untuk mencari Anggia yang terperangkap di dimensi lain.
Panji yang sempat kaget melihat Santi hilang begitu saja, ia pun
memaksa masuk ke cahaya tersebut tetapi dia justru terpental oleh cahaya
dimensi itu.
“Santi hanya punya waktu lima menit saja, sebelum dimensi ini benar-benar
tertutup selamanya” Jawab Mbah Ngatiyem.
“Apa kau bilang, bagaimana jika dia tidak keluar dalam 5 menit, Mbah?”
Tanya Panji.
“MATI!”
...
Sementara itu, di dalam dimensi Santi menelusuri sebuah goa-goa
yang tak berujung, ia mendengar suara Anggia yang menangis, tapi tak tau dari
mana asalnya. Akhirnya ia berteriak.
“Anggia.. Di mana kamu?” teriak Santi.
Tiba-tiba datang seekor kupu-kupu emas itu dan membawa Santi menuju
ke sebuah pintu. Ia melihat sebuah peti berwarna putih lalu membukanya. Ia
menemukan Anggia di dalamnya.
“Anggia, Kita tak punya waktu banyak, cepat ikut denganku” jelas
Santi.
“Baiklah, San. Kemana kita harus pergi?” tanya Anggia.
“Ikuti Aku” jawab Santi.
....
Setelah semua orang ketar-ketir menanti kehadiran Santi dan Anggia,
selang beberapa detik kemudian Santi berhasil keluar. Namun, Anggia tak bisa
keluar, sukmanya masih menempel dengan Mbah Mursinah. Akhirnya, Mbah Ngatiyem
memutus sukma itu dan menutup dimensi itu sesegera mungkin. Hingga akhirnya
dimensi itu pun tertutup dan tersegel kembali. Dunia kembali seperti biasanya,
tak terasa sudah hampir jam tiga pagi. Panji menggendong Anggia yang pingsan
dan trauma tersebut. Memang kisah leluhur penuh misteri, maka janganlah
sekali-kali kau usik atau karma menanti akibat keserakahanmu.
[1] Tang itu cantik wajahnya
[2] “Itu
Mbah, Anggia tidak ada di kamar, Mbah.” jawab Anggia panik.
[3]
“Beneran, Nak?” tanya Mbah Ngatiyem penasaran.
[4] “Iya,
Mbah” jawab Anggia.
[5] “Iya, Saya Mbah, nama saya Raden Ayu Santiwardana Kusuma Putri”
jawab santi.
[6]“Tang itu
cantik parasnya”
[7] “Ting
itu baik prilakunya”
[8] “Tung itu sopan tutur katanya”
0 Komentar