Menjelang liburan kuliah, aku melakukan meeting terakhir bersama teman-teman KKN (Kulia Kerja Nyata). Kami diberi waktu seminggu untuk liburan dan satu bulan kemudian kami diwajibkan untuk melakukan kegiatan KKN di desa yang telah ditentukan. Melihat nama desanya, Desa Kalipare yang terletak di ujung selatan Kabupaten Malang. Desa yang subur akan pesawahannya dan indah akan pesona pantainya. Aku pun menutup meeting tersebut dengan pembagian tugas masing-masing anggota. Kami akan melakukan KKN berlima orang yaitu Anggia, Santi, Rara, Panji, dan aku Harul.
Aku dan Panji mengawali hari pertama untuk mengecek tempat yang
akan kami tinggali selama satu bulan nanti, mulai dari penginapan, kondisi desa
setempat, dan potensi yang bisa kami kembangkan untuk menjadi program kerja selanjutnya.
Setelah seharian berkeliling dan berjumpa dengan warga desa, kami pun sepakat
untuk menempati desa tersebut mulai besok hari. Perjalanan dari Kota Malang
menuju Desa Kalipare ini cukup jauh, kita akan menghabiskan waktu sekitar dua
jam lebih hingga bisa sampai ke desa ini. Akses mobil juga sangat sulit, jalan
masih bebatuan dan menanjak. Pelan-pelan kami mengendarai mobil hingga akhirnya
kami pun sampai di desa tujuan.
Entah mengapa sambutan kali ini berbeda, tidak seperti kemarin yang
hangat dan ramah. Kali ini mereka hanya diam dan melihat kami saja, namun tetap
membantu kami membawakan barang-barang hingga ke dalam rumah. Tempat tinggal laki-laki
dan perempuan saling bersebelahan yaitu di rumah Mbah Ngatiyem dan Mbah Mursinah.
Mereka berdua hidup sendiri hingga saat ini. Kami diberi tempat tinggal di
rumah itu supaya bisa menemani nenek yang tinggal di rumah tersebut sendirian. Seminggu
pertama kami habiskan waktu untuk lebih dekat dengan warga. Akhirnya, dengan
waktu yang cukup singkat kami tetap bisa beradaptasi dengan warga desa, walaupun
di satu sisi kami masih merasakan ada hal yang aneh, tetapi entah itu apa.
Akhir pekan, kami memutuskan untuk berlibur sejenak. Melihat desa
kami yang dekat dengan pantai, kami pun memutuskan untuk berlibur ke pantai
tersebut. Pantai Modangan sangat indah sekali, kita berlima bermain dengan
asyik di pantai sampai-sampai lupa waktu. Menjelang sore, kami beristirahat
sejenak menanti matahari terbenam. Panji tak tahan ingin buang air kecil, ia
pun segera berbalik menuju semak-semak dekat pantai. Beberapa menit kemudian,
kami pun memutuskan segera pulang karena matahari benar-benar telah tenrbenam.
Namun, kami tak menjumpai Panji yang tak kunjung kembali. Kami pun mencarinya
bersama-sama di sekitar pantai.
Setelah satu jam lamanya berkeliling hutan dan tak menemukannya,
kami pun mulai takut. Hari sudah malam, kami langsung segera kembali ke desa
dan melapor ke sesepuh yang ada di desa. Setelah itu, kami kembali ke kediaman
untuk mengambil senter dan beberapa alat bantu lainnya. Ketika aku membuka
pintu, sontak aku kaget melihat Panji yang sedang tertidur pulas di kamar. Aku
bangunkan dia dan bertanya apa yang terjadi padanya.
“Panji, Nangdi ae awakmu, tak enteni, kok iso dek kene se” tanyaku
setengah teriak.[1]
“Opo’o, Rul. Aku sek
kesel, lanjut sesok ae yo” jawab Panji setengah sadar.[2]
Panji melanjutkan tidurnya dengan tenang.
0 Komentar